PurwaCarita

Foto saya
Purwacarita merupakan salah satu naskah wayang di Nusantara yang paling banyak di kenal orang selain Purwakanda, Serat Pramayoga dan Serat Kanda. Blog ini mengenai pembuatan serial animasi wayang yang diangkat dari naskah Purwa Carita. Saya mengerjakan sendiri mulai dari naskah, modeling, animasi, dll... Untuk itu jika ada kekurangan saya mohon maaf sebelumnya. (^____^)"

Rabu, 10 November 2010

Tokoh-tokoh Pewayangan (Mahabharata 1)

MAHABHARATA

Abimanyu
     ABIMANYU dikenal pula dengan nama: Angkawijaya, Jayamurcita, Jaka Pangalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara, dan Wirabatana. Ia merupakan putra Arjuna, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa, raja Negara Mandura dengan Dewi Badrahini. Abimanyu memunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa, dan Bambang Sumbada.

     Abimanyu merupakan makhluk kekasih Dewata. Sejak dalam kandungan ia telah mendapat Wahyu Hidayat, yang membuatnya mengerti dalam segala hal. Setelah dewasa ia mendapat Wahyu Cakraningrat, suatu wahyu yang dapat menurunkan raja-raja besar. Abimanyu memunyai sifat dan perwatakan: halus, baik tingkah laku, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawab, dan pemberani. Dalam olah keprajuritan ia mendapat ajaran dari ayahnya, Arjuna; sedang dalam olah ilmu kebatinan mendapat ajaran dari kakeknya, Bagawan Abiyasa.

     Abimanyu tinggal di Kesatrian Palangkawati, setelah dapat mengalahkan Prabu Jayamurcita. Ia memunyai dua orang istri, yaitu: 1. Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, Raja Dwarawati dengan Dewi Pratiwi, dan 2. Dewi Utari, putri Prabu Matswapati dengan Dewi Ni Yutisnawati, dari negara Wirata, dan berputra Parikesit. Abimanyu gugur dalam Perang Bharatayuda oleh gada Kiai Glinggang milik Jayadrata, satria Banakeling.

Amba
     DEWI AMBA adalah putri sulung dari tiga bersaudara, putri Prabu Darmahumbara, raja negara Giyantipura dengan peramisuri Dewi Swargandini. Kedua adik kandungnya bernama; Dewi Ambika/Ambalika dan Dewi Ambiki/Ambaliki.

     Dewi Amba dan kedua adiknya menjadi putri boyongan Resi Bisma/Dewabrata, putra Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi/Dewi Gangga dari negara Astina yang telah berhasil memenangkan sayembara tanding di negara Giyantipura dengan membunuh Wahmuka dan Arimuka. Karena merasa sebelumnya telah dipertunangkan dengan Prabu Citramuka, raja negara Swantipura, Dewi Amba memohon kepada Dewabrata agar dikembalikan kepada Prabu Citramuka.

     Persoalan mulai timbul. Dewi Amba yang ditolak oleh Prabu Citramuka karena telah menjadi putri boyongan, keinginannya ikut ke Astina juga ditolak Dewabarata. Karena Dewi Amba terus mendesak dan memaksanya, akhirnya tanpa sengaja ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakutnakutinya. Sebelum meninggal Dewi Amba mengeluarkan kutukan, akan menuntut balas kematiannya dengan perantaraan seorang prajurit wanita.

     Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang Bharatayuda arwahnya menjelma dalam tubuh Dewi Srikandi yang berhasil menewaskan Resi Bisma/Dewabrata.

Anggraini
     DEWI ANGGRINI adalah istri Prabu Ekalaya/Palgunadi, rajanegara Paranggelung. Ia berwajah cantik karena putri hapsari/bidadari Warsiki. Dewi Anggraini mempunyai sifat dan perwatakan; setia, murah hati, baik budi, sabar dan jatmika (selalu dengan sopan santun), menarik hati dan sangat berbakti terhadap suami. Ketika terjadi permusuhan antara Prabu Ekalaya dengan Arjuna akibat dari perbuatan Arjuna yang menggangu dirinya, dan suaminya, Prabu Ekalaya mati dibunuh Resi Drona dengan cara memotong ibu jari tangan kanannya yang memakai cincin sakti Mustika Ampal, Dewi Anggraini menunjukan kesetiaannya sebagai istri sejati. Ia melakukan bela pati, bunuh diri untuk kehormatan suami dan dirinya sendiri.

     Dewi Anggraini mati sebagai lambang kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Walaupun menghadapi godaan yang berwujud keindahan dan kelebihan orang lain, namun Dewi Anggraini tetap teguh untuk cinta dan kesetianya

Antaboga
     Sang Hyang ANTABOGA atau Sang Hyang NAGASENA atau Sang Hyang ANANTABOGA atau Sang Hyang BASUKI adalah dewa penguasa dasar bumi. Dewa itu beristana di Kahyangan Saptapratala, atau lapisan ke tujuh dasar bumi. Dari istrinya yang bernama Dewi Supreti, ia memunyai dua anak: Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. Dalam pewayangan disebutkan, walaupun terletak di dasar bumi, keadaan di Saptapratala tidak jauh berbeda dengan di kahyangan lainnya.

     Sang Hyang Antaboga adalah putra Anantanaga. Ibunya bernama Dewi Wasu, putri Anantaswara. Walaupun dalam keadaan biasa Sang Hyang Antaboga serupa dengan ujud manusia, tetapi dalam keadaan triwikrama, tubuhnya berubah menjadi ular naga besar. Selain itu, setiap 1.000 tahun sekali, Sang Hyang Antaboga berganti kulit (mlungsungi). Dalam pewayangan, dalang menceritakan bahwa Sang Hyang Antaboga memiliki aji Kawastrawam, yang membuatnya dapat menjelma menjadi apa saja, sesuai dengan yang dikehendakinya. Antara lain ia pernah menjelma menjadi garangan putih (semacam musang hutan atau cerpelai) yang menyelamatkan Pandawa dan Kunti dari amukan api pada peristiwa Bale Sigala-gala. Putrinya, Dewi Nagagini, menikah dengan Bima, orang kedua dalam keluarga Pandawa. Cucunya yang lahir dari Dewi Nagagini bernama Antareja atau Anantaraja.

     Sang Hyang Antaboga mempunyai kemampuan menghidupkan orang mati yang kematiannya belum digariskan, karena ia memiliki air suci Tirta Amerta. Air sakti itu kemudian diberikan kepada cucunya Antareja dan pernah dimanfaatkan untuk menghidupkan Dewi Sumbadra yang mati karena dibunuh Burisrawa dalam lakon Sumbadra Larung.

     Sang Hyang Antaboga pernah dimintai tolong Bhatara Guru menangkap Bambang Nagatatmala, anaknya sendiri. Waktu itu Nagatatmala kepergok sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Batara Yamadipati. Namun para dewa gagal menangkapnya karena kalah sakti. Karena Nagatatmala memang bersalah, walau itu anaknya, Sang Hyang Antaboga terpaksa menangkapnya. Namun Dewa Ular itu tidak menyangka Bhatara Guru akan menjatuhkan hukuman mati pada anaknya, dengan memasukkannya ke Kawah Candradimuka. Untung Dewi Supreti, istrinya, kemudian menghidupkan kembali Bambang Nagatatmala dengan Tirta Amerta.

     Bhatara Guru juga pernah mengambil kulit yang tersisa ketika Sang Hyang Antaboga mlungsungi dan menciptanya menjadi makhluk ganas yang mengerikan. Batara Guru menamakan makhluk itu Candrabirawa.

     Sang Hyang Antaboga, ketika masih muda disebut Nagasesa. Walaupun ia cucu Sang Hyang Wenang, ujudnya tetap seekor naga, karena ayahnya yang bernama Antawisesa juga seekor naga. Ibu Nagasesa bernama Dewi Sayati, putri Sang Hyang Wenang.

     Suatu ketika para dewa berusaha mendapatkan Tirta Amerta yang membuat mereka bisa menghi-dupkan orang mati. Guna memeroleh Tirta Amerta para dewa harus mengebor dasar samudra. Mereka mencabut Gunung Mandira dari tempatnya, dibawa ke samudra, dibalikkan sehingga puncaknya berada di bawah, lalu memutarnya untuk melubangi dasar samudra itu. Namun setelah berhasil memutarnya, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung itu. Padahal jika gunung itu tidak bisa dicabut, mustahil Tirta Amerta dapat diambil.
     Pada saat para dewa sedang bingung itulah Nagasesa datang membantu. Dengan cara melingkarkan badannya yang panjang ke gunung itu dan membetotnya ke atas, Nagasesa berhasil menjebol Gunung Mandira, dan kemudian menempatkannya di tempat semula. Dengan demikian para dewa dapat mengambil Tirta Amerta yang mereka inginkan. Itu pula sebabnya, Nagasesa yang kelak lebih dikenal dengan nama Sang Hyang Antaboga juga memiliki Tirta Amerta.  Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan Tirta Amerta, para dewa bukan mengebor samudra, melainkan mengaduk-aduknya. Ini didasarkan atas arti kata ngebur dalam bahasa Jawa, yang artinya mengaduk-aduk, mengacau, membuat air samudra menjadi kacau.

     Jasa Nagasesa yang kedua adalah ketika ia menyerahkan Cupu Linggamanik kepada Bhatara Guru. Para dewa memang sangat menginginkan cupu mustika itu. Waktu itu Nagasesa sedang bertapa di Guwaringrong dengan mulut terbuka. Tiba-tiba melesatlah seberkas cahaya terang memasuki mulutnya. Nagasesa langsung mengatupkan mulutnya, dan saat itulah muncul Bhatara Guru. Dewa itu menanyakan ke mana perginya cahaya berkilauan yang memasuki Guwaringrong. Nagasesa menjawab, cahaya mustika itu ada pada dirinya dan akan diserahkan kepada Bhatara Guru, bilamana pemuka dewa itu mau memeliharanya baik-baik. Bhatara Guru menyanggupinya, sehingga ia mendapatkan Cupu Linggamanik yang semula berujud cahaya itu.

     Cupu Linggamanik sangat penting bagi para dewa, karena benda itu berkhasiat dapat membawa ketenteraman di kahyangan. Itulah sebabnya semua dewa di kahyangan merasa berhutang budi pada kebaikan hati Nagasesa. Karena jasa-jasanya itu para dewa lalu mengha-diahi Nagasesa kedudukan yang sederajat dengan para dewa, dan berhak atas gelar bhatara atau sang hyang. Sejak itu ia bergelar Sang Hyang Antaboga. Para dewa juga memberinya hak sebagai penguasa alam bawah tanah. Tidak hanya itu, oleh para dewa Nagasesa juga diberi aji Kawastram yang membuatnya sanggup mengubah ujud dirinya menjadi manusia atau makhluk apa pun yang dikehendakinya.

     Untuk membangun ikatan keluarga, para dewa juga menghadiahkan seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya. Perlu diketahui, cucu Sang Hyang Antaboga, yakni Antareja, hanya terdapat dalam pewayangan di Indonesia. Dalam Mahabharata, Antareja tidak pernah ada, karena tokoh itu memang asli ciptaan nenek moyang orang Indonesia.

     Sebagian dalang menyebutnya aji Kemayan. Sebenarnya sebutan itu keliru, karena kemayan yang berasal dari kata "maya" adalah aji untuk membuat pemilik ilmu itu menjadi tidak terlihat oleh mata biasa. Maya artinya, "tak terlihat". Jadi, yang benar adalah aji Kawastram.

     Sang Hyang Antaboga pernah berbuat khilaf ketika dalam sebuah lakon carangan terbujuk hasutan Prabu Boma Narakasura, cucunya, untuk meminta Wahyu Senapati pada Bhatara Guru. Bersama dengan menantunya, Prabu Kresna, yang suami Dewi Pertiwi. Antaboga lalu berangkat ke kahyangan. Ternyata Bhatara Guru tidak bersedia memberikan wahyu itu pada Boma, karena menurut pendapatnya Gatotkaca lebih pantas dan lebih berhak. Selisih pendapat yang hampir memanas ini karena Sang Hyang Antaboga hendak bersikeras, tetapi akhirnya silang pendapat itu dapat diredakan oleh Batara Narada. Wahyu Senapati tetap diperuntukkan bagi Gatotkaca.

     Nama Antaboga atau Anantaboga artinya "kelokannya tidak mengenal batas". Kata an artinya tidak; anta artinya batas; sedangkan boga atau bhoga atinya kelokan. Yang kelokannya tidak mengenal batas, maksudnya adalah ular naga yang besarnya luar biasa.

Antareja
     ANANTAREJA atau ANTAREJA adalah putra Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Nagagini, putri Hyang Anantaboga dengan Dewi Supreti dari Kahyangan Saptapratala. Ia memunyai dua orang saudara lelaki lain ibu, bernama: Gatotkaca (putra Bima dengan Dewi Arimbi) dan Arya Anantasena (putra Bima dengan Dewi Urangayu).

     Sejak kecil Anatareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala (dasar bumi). Ia memiliki ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, makhluk apa pun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi pemberian ibunya, yang bisa menjauhkannya dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi.
     Anantareja memiliki sifat: jujur, pendiam, berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban, dan besar kepercayaan kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular/taksaka di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.

     Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang Perang Bharatayuda atas kemauannya sendiri dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam Perang Bharatayuda.

Antasena
     ANTASENA atau ANANTASENA adalah Putra Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Urangayu, putri Hyang Mintuna (Dewa Ikan Air Tawar) di Kisiknarmada. Ia memunyai dua orang saudara seayah lain ibu, yaitu: Anantareja (putra Dewi Nagagini) dan Gatotkaca (putra Dewi Arimbi).

     Sejak kecil Anantasena tinggal bersama ibu dan kakeknya di Kisiknarmada. Seluruh badannya berkulit sisik ikan/udang hingga kebal terhadap senjata. Anantasena dapat hidup di darat dan di dalam air. Ia memunyai mulut sakti, makhluk apa pun yang tersentuh dan terkena bisanya akan menemui kematian. Anantasena juga memiliki pusaka Cupu Madusena, yang dapat mengembalikan kematian di luar takdir. Ia juga tidak dapat mati selama masih bersinggungan dengan air atau uap air.

     Anantasena berwatak jujur, terus terang, bersahaja, berani kerena membela kebenaran, tidak pernah berdusta. Setelah dewasa, Anantasena menjadi raja di negara Dasarsamodra, bekas negaranya Prabu Ganggatrimuka yang mati terbunuh dalam peperangan. Anatasena meninggal sebelum Perang Bharatayuda. Ia mati moksa (lenyap dengan seluruh raganya) atas kehendak/kekuasaan Sang Hyang Wenang.

Arimbi
     DEWI ARIMBI atau HIDIMBI (Mahabharata) adalah putri kedua Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani, dengan Dewi Hadimba. Ia memunyai tujuh orang saudara kandung: Arimba/Hidimba, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa, dan Kalabendana.

      Dewi Arimbi menikah dengan Bima/Werkudara, salah seorang Pandawa, putra Prabu Pandu, raja negara Astina dari permaisuri Dewi Kunti. Dari perkawinan itu ia berputrakan Gatotkaca.

     Dewi Arimbi menjadi raja negara Pringgandani, menggantikan kedudukan kakaknya, Prabu Arimba, yang tewas dalam peperangan melawan Bima. Namun karena ia lebih sering tinggal di Kesatrian Jodipati mengikuti suaminya, kekuasaan negara Pringgandani diwakilkan kepada adiknya, Brajadenta sampai Gatotokaca dewasa dan diangkat menjadai raja negara Pringgandani bergelar Prabu Kacanegara.

     Dewi Arimbi memunyai kesaktian: dapat beralih rupa dari wujudnya raksasa menjadi putri cantik jelita. Ia memunyai sifat jujur, setia, berbakti, dan sangat sayang terhadap putranya. Ia gugur di medan Bharatayuda membela putranya, Gatotokaca yang gugur karena panah Kunta milik Adipati Karna, Raja Awangga.

Arjuna
     ARJUNA adalah putra Prabu Pandu Dewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita dari Mandura. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara; sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.

     Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa, dan menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana.

     Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), panah Cundamanik (dari Bhatara Narada).

     Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, antara lain: keris Kiai Kalanadah, panah Sangkali (dari Resi Drona), panah Candranila, panah Sirsha, keris Kiai Sarotama, keris Kiai Baruna, keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), terompet Dewanata, cupu Minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani), dan kuda Ciptawilaha dengan cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimilikinya antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih, dan Asmaragama.
     Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak, yakni:
1. Dewi Sumbadra, berputra Raden Abimanyu;
2. Dewi Larasati, berputra Raden Sumitra dan Bratalaras;
3. Dewi Srikandi, tidak berputra;
4. Dewi Ulupi/Palupi, berputra Bambang Irawan;
5. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti;
6. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka;
7. Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni;
8. Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga;
9. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
10. Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma;
11. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa;
12. Dewi Maeswara;
13. Dewi Retno Kasimpar;
14. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada;
15. Dewi Dyah Sarimaya.

     Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: kampuh/kain Limarsawo, ikat pinggang Limarkatanggi, gelung Minangkara, kalung Candrakanta, dan cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, Raja Paranggelung). Ia juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Permadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bhatara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara (perayu ulung), dan Margana (suka menolong).

     Arjuna memiliki sifat: cerdik, pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani, dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat Pandawa yang lain.

Arya Prabu Rukma
     ARYA PRABU RUKMA adalah putra Prabu Basukunti, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Ia memunyai tiga orang saudara kandung bernama: Arya Basudewa, Dewi Kunti/Dewi Prita dan Arya Ugrasena.
     Arya Prabu Rukma menikah dengan Dewi Rumbini, putra Prabu Rumbaka, raja Negara Kumbina. Dari perkawinan tersebut ia memeroleh dua orang putra: Dewi Rukmini dan Arya Rukmana. Secara tidak resmi Arya Prabu Rukma juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati keraton Mandura, dan memunyai seorang putri bernama Ken Rarasati/Dewi Larasati.

     Arya Prabu Rukma mempunyai watak: berani, cerdik pandai, trengginas, mahir mempergunakan senjata panah dan ahli strategi perang. Ia menjadi raja negara Kumbina menggantikan mertuanya, Prabu Rumbaka, dan bergelar Prabu Bismaka, Prabu Wasukunti atau Prabu Hirayana.

     Akhir riwayatnya diceritakan, Prabu Bismaka/Arya Prabu Rukma gugur di medan perang melawan Prabu Bomanarakasura, raja negara Surateleng atau Trajutisna.

Aswatama
     Bambang ASWATAMA adalah putra Resi Drona dari padepokan Sokalima, dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi sedang beralih rupa menjadi kuda Sembrani, dalam upaya menolong Bambang Kumbayana/Resi Drona terbang menyeberangi lautan.

     Ketika ayahnya, Resi Drona menjadi guru Keluarga Pandawa dan Kurawa di negara Astina, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat: cerdik dan pandai mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Cundamanik.

     Karena kecewa dengan sikap Prabu Duryudana yang terlalu membela Prabu Salya yang dituduhnya sebagai penyebab gugurnya Adipati Karna. Aswatama memutuskan mundur dari kegiatan Bharatayuda. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga Pandawa pindah dari Amarta ke Astina, secara bersembunyi Aswatama masuk menyelundup ke dalam istana Astina. Ia berhasil membunuh Drestadyumna (pembunuh ayahnya, Resi Drona), Pancawala (putra Prabu Puntadewa), Dewi Banowati (janda Prabu Duryudana), dan Dewi Srikandi, sebelum akhirnya ia mati oleh Bima, badannya hancur dipukul gada Rujakpala.

Bagaspati
     Bagawan BAGASPATI yang sewaktu mudanya bernama Bambang Anggana Putra, adalah putra Resi Jaladara dari Pertapaan Dewasana, dengan Dewi Anggini, keturunan Prabu Citragada, raja negara Magada. Pada mulanya Bambang Anggana Putra berwujud satria tampan, tetapi karena terkena kutukan Sang Hyang Manikmaya tatkala akan memperistri Dewi Darmastuti wujudnya berubah menjadi raksasa. Ia kemudian menjadi brahmana di pertapaan Argabelah dan bergelar Bagawan Bagaspati.

      Bagaspati sangat sakti. Ia memiliki aji Candrabirawa, sehingga tidak bisa mati kecuali atas kemauannya sendiri. Ia menikah dengan Dewi Dharmastuti, seorang  hapsari/bidadari, dan berputra Dewi Pujawati. Bagaspati memunyai watak sabar, ikhlas, percaya akan kekuasaan Tuhan, rela berkorban, dan sangat sayang pada putrinya. Ia bersahabat karib dengan Prabu Mandrapati, raja negara Mandara yang merupakan saudara seperguruan.

     Akhir riwayatnya diceritakan, karena rasa cintanya dan demi kebahagiaan putrinya, Dewi Pujawati, Bagaspati rela mati dibunuh Narasoma, menantunya sendiri. Sebelum tewas, ia menyerahkan aji Candrabirawa kepada Narasoma.

Bagong
     BAGONG terjadi dari bayangan Sang Hyang Ismaya atas sabda Sang Hyang Tunggal, ayahnya. Ketika Sang Hyang Ismaya akan turun ke Arcapada, ia mohon kepada ayahnya seorang kawan yang akan menemaninya, karena Ismaya yang ditugaskan mengawasi trah keturunan Witaradya merasa tidak sah apabila sesuatu persaksian hanya dilakukan oleh seseorang. Sang Hyang Tunggal kemudian menyuruh Sang Hyang Ismaya menoleh ke belakang, tahu-tahu telah ada seseorang yang bentuk tubuhnya hampir menyerupai dirinya.

     Dalam pedalangan Jawa, Bagong dikenal pula dengan nama Bawor, Carub, Astrajingga (di Jawa Barat: Cepot) . Ia mempunyai tabiat: lagak dan katanya kekanak-kanakan, lucu, suara besar, tindakannya seperti orang bodoh, kata-katanya menjengkelkan, tetapi selalu tepat. Bagong menikah dengan Endang Bangnyawati, anak Prabu Balya raja Gandarwa di Pucangsewu.

     Perkawinannya itu bersamaan dengan perkawinan Semar dengan Dewi Kanistri dan perkawinan Resi Manumayasa dengan Dewi Kaniraras, kakak Dewi Kanistri, putri Bhatara Hira. Seperti halnya dengan Semar, Bagong berumur sangat panjang, ia hidup sampai zaman Madya.

Baladewa
     Prabu BALADEWA yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra (Maekah: Jawa). Ia lahir kembar bersama adiknya, Narayana dan memunyai adik lain ibu bernama Dewi Sumbadra/Dewi Lara Ireng, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga memunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura.

     Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir dalam olah ketrampilan mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryudana berguru kepadanya. Baladewa memunyai dua pusaka sakti: Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Bhatara Brahma. Ia juga memunyai kendaraan gajah bernama Kiai Puspadenta.

    Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati/Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra: Wisata dan Wimuka.

     Prabu Baladewa diyakini sebagi titisan Sang Hyang Basuki , Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai Perang Bharatayuda, Prabu Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Astina setelah Prabu Kalimataya/Prabu Puntadewa, dengan gelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Yadawa.

Banowati
     Dewi BANOWATI adalah putri Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia memunyai empat saudara kandung: Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Arya Burisrawa, dan Bambang Rukmarata. Dewi Banowati menikah dengan Prabu Suyudana/Duryadana, raja negara Astina, putra Prabu Drestarasta dengan Dewi Gandari. Dari perkawinan tersebut ia memeroleh dua orang putra: Leksmana Mandrakumara dan Dewi Laksmanawati.

     Dewi Banowati berwatak: jujur, penuh belas kasih, jatmika (selalu dengan sopan santun), dan agak sedikit genit. Akhir riwayatnya diceritakan: ia mati dibunuh oleh Aswatama putra Resi Durna, setelah berakhirnya Perang Bharatayuda, saat menunggu boyongan/pindahan keluarga Pandawa dari Negara Amarta ke negara Astina.

Basudewa
     Prabu BASUDEWA adalah putra sulung Prabu Basukunti raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Ia memunyai tiga orang saudara kandung masing-masing: Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma, dan Arya Ugrasena.

     Prabu Basudewa memunyai tiga orang istri dan empat orang putra. Dengan permaisuri Dewi Mahira/Maerah ia berputra Kangsa. Kangsa sebenaranya putra Prabu Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi Mahira.

     Dengan permaisuri Dewi Mahindra/Maerah, Prabu Basudewa memeroleh dua orang putra: Kakrasana dan Narayana. Dari permaisuri Dewi Badrahini ia berputra Dewi Wara Sumbadra/Dewi Lara Ireng. Secara tidak resmi, Prabu Basudewa juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati Keraton Mandura, dan memeroleh seorang putra bernama Arya Udawa.

     Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya. Ia pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing. Setelah usia lanjut, ia menyerahkan Kerajaan Mandura kepada putranya, Kakrasana, dan hidup sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala. Prabu Basudewa meninggal saat negara Mandura digempur Prabu Sitija/ Bomanarakasura raja Negara Surateleng.

Basukesti
     Arya BASUKESTI adalah putra Prabu Basupati/Basuparicara, raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Anganti/Dewi Girika, putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Ia memunyai dua orang saudara kandung bernama Arya Basunanda dan Arya Basumurti.

     Arya Basukesti menjadi raja negara Wirata menggantikan kedudukan kakaknya, Prabu Basunanda yang mengundurkan diri hidup sebagai brahmana. Atas kemurahan hatinya, Prabu Basukesti mengizinkan dan menyerahkan puncak Gunung Retawu di kawasan gunung Saptaarga kepada Manumayasa, putra Bhatara Parikenan dengan Dewi Brahmananeki, membagun sebuah padepokan/pertapaan.

     Prabu Basukesti pernah meninggalkan takhta Wirata dan pergi bertapa sebagai ruwat atas nasibnya, karena setiap memiliki permaisuri selalu saja meninggal. Untuk sementara takhta kerajaan diserahkan kepada Arya Basumurti. Beberapa tahun kemudian, Prabu Basukesti kembali ke istana dan mendapat permaisuri bernama Dewi Adrika/Dewi Pancawati. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra: Dewi Basuwati, Dewi Basutari, dan Arya Basukiswara.

     Prabu Basukesti meninggal dalam usia lanjut. Sebagai penggantinya, Arya Basukiswara diangkat menjadi raja negara Wirata.

Basukiswara
     Arya BASUKISWARA adalah putra bungsu prabu Basukesti, raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Adrika/Dewi Pancawati. Ia memunyai dua orang kakak kandung masing-masing: Dewi Pasuwati dan Dewi Basutari.

     Basukiswara menjadi raja Wirata menggantikan kedudukan ayahnya, Prabu Basukesti. Ia memerintah dengan arif dan bijaksana, adil, dan sangat memerhatikan kehidupan rakyatnya. Prabu Basukiswara juga menjalin hubungan yang sangat erat dengan Resi Manumayasa dari padepokan Retawu di Gunung Saptaarga.

     Prabu Basukiswara menikah dengan Dewi Kiswati, dan memunyai dua orang putra bernama: Arya Basuketi dan Arya Kistawan. Merasa usianya sudah lanjut dan tak mampu lagi memerintah, ia memutuskan untuk hidup sebagai brahmana. Tahta dan negara Wirata diserahkan kepada putra sulungnya, Arya Basuketi.

Basukunti
     Prabu BASUKUNTI atau WASUKUNTI yang waktu mudanya bernama Suradewa, adalah putra sulung Prabu Wasukunteya, raja Negara Mandura dengan permaisuri Dewi Sungganawati. Ia memunyai adik kandung bernama Kuntadewa, yang setelah menjadi raja negara Boja bergelar Prabu Kuntiboja.

     Prabu Basukunti menikah dengan Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja. Dari perkawinan tersebut ia memeroleh empat orang putra masing-masing: Arya Basudewa, Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.

     Prabu Basukunti memunyai perwatakan: berani, cerdik pandai, arif bijaksana, dan suka menolong. Setelah usianya lanjut, ia menyerahkan takhta Mandura kepada putra sulungnya, Arya Basudewa, dan hidup sebagai brahmana sampai meninggal.

     Basunanda Arya Basunanda menjadi raja negara Wirata menggantikan kedudukan ayahnya, Prabu Basupati yang mengundurkan diri. Prabu Basunanda menikah dengan Dewi Swakawati, dan memunyai dua orang putra bernama: Dewi Basundari dan Arya Basundara.

      Prabu Basunanda tidak lama memerintah negara Wirata. Ia mengikuti jejak Prabu Basupati, mengundurkan diri dari takhta kerajaan untuk selanjutnya hidup sebagai brahmana. Karena waktu itu putra-putranya masih kecil, takhta Wirata diserahkan kepada adiknya, Arya Basukesti.

Basupati
      Prabu BASUPATI dikenal pula dengan nama Prabu Basuparicara (Mahabharata). Ia putra Bhatara Srinada/Prabu Basurata, raja negara Wirata yang pertama dengan permaisuri Dewi Bramaniyuta, putri Bhatara Brahma. Prabu Basupati memunyai adik kandung bernama Bramananeki yang menikah dengan Bambang Parikenan, putra Bhatara Bremani/Brahmanaresi dengan Dewi Srihuna/Srihunon.

     Karena ketekunannya bertapa, Prabu Basupati menjadi sangat sakti dan tahu segala bahasa binatang. Ia mendapat anugerah dari Bhatara Indra berwujud sebuah kereta sakti bernama Amarajaya lengkap dengan bendera perangnya yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata. Dengan kereta sakti Amarajaya, Prabu Basupati menaklukkan tujuh negara, masuk ke dalam wilayah kekuasaan negara Wirata.

     Prabu Basupati menikah dengan Dewi Angati atau Dewi Girika (Mahabharata), putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi Suktimati. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh tiga orang putra bernama: Arya Basunada, Arya Basukesti, dan Arya Bamurti. Prabu Basupati memerintah negara Wirata sampai berusia lanjut. Ia menyerahkan tahta Kerajaan Wirata kepada Arya Basunada, kemudian hidup sebagai brahmana sampai meninggal dalam keadaan bermudra.

Basurata
     Prabu BASURATA adalah raja negara Wirata yang pertama. Pada waktu mudanya ia bernama Bathara Srinada. Prabu Basurata adalah putra Bhatara Wisnu yang bertakhta di Kahyangan Untarasegara, dengan permaisuri Dewi Srisekar. Ia memunyai dua orang saudara kandung bernama: Bhatara Srigati dan Bhatara Srinadi.
     Prabu Basurata menikah dengan Dewi Bramaniyuta, Putri Bathara Brahma dengan Dewi Sarasyati dari Kahyangan Daksinageni. Dari perkawinan tersebut ia memeroleh dua orang putra: Arya Basupati/Basuparicara dan Dewi Bramananeki.

     Setelah menikahkan putrinya, Dewi Brahmananeki dengan Bambang Parikenan, putra Bhatara Bremani/Brahmanaresi (putra Bhatara Brahma dengan Dewi Raraswati) dengan Dewi Srihuna (putri Bhatara Wisnu dengan Dewi Sripujayanti), Prabu Basurata  berkeinginan moksa. Ia kemudian menyerahkan takhta dan negara Wirata kepada putranya, Arya Basupati.

Bima
     BIMA atau WERKUDARA dikenal pula dengan nama; Balawa, Bratasena, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, atau Wijasena. Ia putra kedua Prabu Pandu, raja Negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ; Nakula dan Sadewa.

Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia memiliki keistimewaan ahli bermain ganda dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah ; Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol.

     Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain; Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu :

1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan
3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena
Akhir riwayat Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuda.

Bogadatta
     BOGADATTA atau Bogadenta adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia bersaudara 100 orang -- {99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa. Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.

     Bogadatta menjadi raja di negara Turilaya. Ia pandai bermain gada. Selain sakti, Bogadatta juga memiliki kendaraan gajah bernama Murdiningkung dengan srati/pawang seorang prajurit wanita bernama Murdiningsih. Di medan peperangan, ketiganya merupakan pasangan yang menakutkan lawan dan tak terkalahkan. Bila salah satu diantara mereka mati, dan diloncati salah satu diantara yang hidup, maka yang mati akan hidup kembali. 

     Dalam perang Bharatayuda, Bogadatta maju kemedan peperangan bersama gajah Murdiningkung dan srati Murdiningsih. Mereka semua mati dalam peperangan oleh panah Trisula milik Arjuna.

Bomantara
     RABU BOMANTARA adalah raja negara Trajutisna/Prajatisa. Ia masih keturunan Bathara Kalayuwana, putra Bathara Kala dengan Bathari Durga/Dewi Pramuni dari kahyangan Setragandamayit. Karena ketekunanya bertapa, ia menjadi sangat sakti. Berwatak angkara murka, kejam, bengis dan selalu menurutkan kata hatinya.
Prabu Bomantara pernah menyerang Suralaya dan mengalahkan para Dewa. Ia kemudian menyerang negara Gowasiluman, menewaskan Prabu Arimbaji untuk menguasai wilayah hutan Tunggarana. Belum puas dengan kekuasaan yang dimiliki, Prabu Bomantara kemudian menyerang negara Surateleng.

  Akhirnya Prabu Bomantara tewas dalam pertempuran melawan Prabu Narakasura yang waktu mudanya bernama Bambang Sitija, raja negara Surateleng, putra Prabu Kresna dengan Dewi Pretiwi. Arwahnya manunggal dalam tubuh Prabu Sitija. Negara Surateleng dan Prajatisa oleh Prabu Sitija/Narakasura dijadikan satu, Prabu Sitija kemudian bergelar Prabu Bomanarakasura.

Brajadenta
     BRAJADENTA adalah putra ketiga Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama; Arimba / Hidimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesana, Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana.

      Brajadenta berwatak keras hati, ingin menangnya sendiri, berani serta ingin selalu menurutkan kata hatinya. Brajadenta sangat sakti. Oleh kakaknya, Dewi Arimbi, Brajadenta ditunjuk sebagai wakil raja memegang tampuk pemerintahan negara Pringgandani selama Dewi Arimbi ikut suaminya, Bima tinggal di Jadipati.

     Akhir riwayatnya diceritakan, karena tidak setuju dengan pengangkatan Gatotkaca, putra Dewi Arimbi dengan Bima sebagai raja Pringgandani, Brajadenta dengan dibantu oleh ketiga adiknya, Brajamusti, Brajalamatan dan Brajawikalpa, melakukan pemberontakan karena ingin secara mutlak menguasai negara Pringgandani.
    
     Pemberontakannya dapat ditumpas oleh Gatotkaca dengan tewasnya Brajalamatan dan Brajawikalpa. Brajadenta dan Brajamusti berhasil melarikan diri dan berlindung pada kemenakannya, Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja di negara Gowasiluman di hutan Tunggarana.
 
     Dengan bantuan Bathari Durga, Brajadenta kembali memasuki negara Pringgandini untuk membunuh Gatotkaca. Usahanya kembali menghalami kekagalan. Brajadenta akhirnya tewas dalam peperangan melawan Gatotkaca. Arwahnya menjelma menjadi ajian/keaktian dan merasuk/menunggal dalam gigi Gatotkaca. Sejak itu Gatotkaca memiliki kesaktian; barang siapa kena gigitannya pasti binasa.

Brajalamatan
     BRAJALAMATAN adalah putra keenam Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung, masing-masing bernama ; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Arya Prabakesa, Brajamusti, Brajawikalpa dan Kalabendana.

     Brajalamatan berwatak keras hati dan agak berangasan, mudah marah, pemberani dan sangat sakti. Brajalamatan sangat menentang keputusan Dewi Arimbi yang akan menyerahkan tahta kerajaan Pringgandani kepada Gatotkaca, putranya dengan Bima. Karena itu Brajalamatan ikut mendukung dan terlibat langsung gerakan pemberontakan yang dilakukan Brajadenta dan Brajamusti dalam upaya merebut tahta kerajaan Pringgandani dari tangan Gatotkaca.

     Dalam peperangan perebutan kekuasaan itu, Brajalamatan akhirnya mati di tangan Gatotkaca. Arwahnya kemudian menjelma menjadi ajian/kesaktian manunggal di tangan kiri Gatotkaca.

Brajamusti
     BRAJAMUSTI adalah putra ke-lima Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung bernama; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Arya Prabakesa, Brajadenta, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana.

     Brajamusti mempunyai sifat mudah naik darah, agak bengis, keras hati dan ingin menang sendiri. Ia sangat sakti. Bersama kakaknya, Brajadenta dan kedua adiknya, Brajalamantan dan Brajawikalpa, ia melakukan pemberontakan merebut tahta negara Pringgandani dari kekuasaan Dewi Arimbi. Ketika pemberontakan gagal dengan tewasnya Brajalamatan dan Brajawikalpa oleh Gatotkaca, Brajamusti dan Brajadenta melarikan diri, berlindung pada kemenakannya, Prabu Arimbaji, putra mendiang Prabu Arimba yang telah menjadi raja negara Guwasiluman di hutan Tunggarana.

     Dengan bantuan Bathari Durga, Brajamusti kembali beraniat membunuh Gatotkaca melalui tangan ketiga. Ia menjelma menjadi Gatotkaca palsu dan menganggu Dewi Banowati, istri Prabu Duryudana, raja negara Astina. Namun perbuatanya terseburt dapat dibongkar oleh Gatotkaca. Akhirnya Brajamusti tewas dalam petempuran melawan Gatotkaca, dan arwahnya menjadi ajian/kesaktian merasuk/menunggal dalam tangan kanan Gatotkaca

Brajawikalpa
     BRAJAWIKALPA adalah putra ketujuh Prabu Arimbaka, raja raksasa negara Pringgandani dengan Dewi Hadimba. Ia mempunyai tujuh orang saudara kandung masing-masing bernama; Arimba/Hidimba, Dewi Arimbi, Brajadenta, Arya Prabakesa, Brajamusti, Brajalamatan dan Kalabendana.

     Brajawikalpa mempunyai sifat perwatakan ; pemberani, tangguh, setia, sedikit serakah dan tidak mempunyai pendirian yang tetap. Ia juga ikut mendungkung Brajadenta dan saudara-saudaranya yang lain ketika menentang Dewi Arimbi yang akan mengangkat Gatotkaca sebagai raja Pringgandani. Brajawikalpa juga ikut terlibat langsung pemberontakan yang dipimpin oleh Brajadenta dan Brajamusti, walau sebelumnya telah diperingatkan oleh Kalabendana.

     Dalam peperangan pemberontakan tersebut, Brahjawikalpa tewas dalam pertempuan melawan Gatotkaca. Arwahnya menjelma menjadi ajian/kesaktian berujud perisai yang manunggal dalam punggung Gatotkaca.

Burisrawa
     ARYA BURISRAWA adalah putra ke-empat Prabu Salya, raja negara Mandaraka dengan permaisuri Dewi Pujawati/Setyawati, putri tunggal Bagawan Bagaspati dari pertapaan Argabelah. Ia mempunyai empat orang saudara kandung masing-masing bernama ; Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati dan Bambang Rukmarata.

     Burisrawa berwujud setengah raksasa, gagah perkasa dan sangat sakti. Ia berwatak sombong, senang menurutkan kata hatinya, pendendam, ingin selalu menang sendiri, senang membuat keonaran dan membuat peristiwa - peristiwa yang penuh dengan kekerasan.

     Burisrawa menikah dengan Dewi Kiswari, putri Prabu Kiswaka, raja negara Cedisekar/Cindekembang dan berputra Arya Kiswara. Ia sangat akrab hubungannya dengan Prabu Baladewa, raja Mandura, Prabu Duryudana, raja Astina dan Adipati Karna, raja Awangga karena hubungan saudara ipar.

      Dalam perang Bhratayuda, Burisrawa berada di pihak keluarga Kurawa. Ia gugur dalam peperangan melawan Arya Setyaki, putra Prabu Setyajid/Ugrasena, raja negara Lesanpura.

Cakil
     CAKIL atau Gendirpenjalin, berwujud raksasa dengan gigi tonggos berpangkat tumenggung. Tokoh Cakil hanya dikenal dalam ceruita pedalangan Jawa dan selalu dimunculkan dalam perang kembang, perang antara satria melawan raksasa yang merupakan lambang nafsu angkara murka.

      Cakil memiliki sifat; pemberani, tangkas, trengginas, banyak tingkah dan pandai bicara. Ia berwatak kejam, serakah, selalu menurutkan kata hati dan mau menangnya sendiri. Cakil selalu ada dan hidup di setiap negara raksasa. Ia merupakan raksasa hutan (selalu tinggal di hutan) dengan tugas merampok para satria atau merusak dan mengganggu ketenteraman kehidupan para brahmana di pertapaan.

     Dalam setiap peperangan Cakil mesti menemui ajalnya, karena ia dan anak buahnya merupakan lambang nafsu angkara murka manusia yang memang harus dilenyapkan.

Dadungawuk
     DADUNGAWUK adalah raksasa kerdil anak buah Bathari Durga, raja makhluk siluman yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Dadungawuk tinggal di hutan Krendayana, bertugas menggembalakan kerbau/Andanu (Jawa) milik Bathari Durga.

    Kerbau Andanu berjumlah 40 ekor, semuanya berwarna hitam, berkaki putih (=pancal panggung/Jawa). Karena indahnya pernah dipinjam keluarga Pandawa untuk memenuhi persyaratan permintaan Dewi Sumbadra, putri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini dari negara Mandura, ketika dipinang oleh Arjuna. Pada mulanya Dadungawuk menolak. Tetapi setelah dikalahkan oleh Bima, Dadungawuk bersedia menyerahkan Andanu, yang akan digunakan untuk memeriahkan pawai perkawinan Dewi Subadra dengan Arjuna yang pestanya diselenggarkan di negara Dwarawati. Atas seijin Bathari Durga, Dadungawuk sendiri bertindak sebagai pawangnya. Setelah pesta perkawinan selesai, Dadungawuk dan Andanu kembali kehutan Kerndayana.

Dananjaya
     ARYA DANANJAYA menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja Jin negara Madukara, di kawasan hutan Mertani. Ia mempunyai dua kakak kandung, yaitu : Prabu Yudhistira, raja Jin negara Mertani dan Arya Dandunwacana yang bersemayam di kesatrian Jodipati. Arya Dananjaya juga mempunyai dua saudara seayah lain ibu masing-masing bernama ; Ditya Sapujagad yang bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian Baweratalun.

     Arya Dananjaya sangat sakti. Ia memiliki pusaka berupa jala sutra yang berwujud emas. Bersama kakaknya, Arya Danduwacana, Arya Dananjaya menjadi benteng dan senapati perang negara Mertani, sebuah kerajaan siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker. Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa, putra Prabu Pandu raja negara Astina, berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton yang diperoleh Arjuna dari Bagawan Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani, Arya Dananjaya yang kalah dalam peperangan melawan Arjuna, akhirnya menjelma/sejiwa dengan Arjuna. Kepada Arjuna ia menyerahkan ; Nama Dananjaya menjadi nama sebutan Arjuna, pusaka Jala Sutra Emas, negara Madukara beserta seluruh balatentaranya, dan memberi saran kepada Arjuna untuk mengawini Dewi Ratri, putri Prabu Yudhistira dengan Dewi Rahina yang sesungguhnya pewaris tunggal negara Madukara.

Dandunwacana
      ARYA DANDUNWACANA adalah adik Prabu Yudhistira, yang menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja Jin negara Mertani. Ia bersemayam di kesatrian Jodipati. Arya Dandunwacana mempunyai adik kandung bernama ; Arya Dananjaya yang bersemayam di kesatiran Madukara. Arya Dandunwacana juga mempumyai dua saudara seayah lain ibu masing-masing bernama ; Ditya Sapujagad, bertempat tinggal di kesatiran Sawojajar dan Ditya Sapulebu yang bertempat tinggal di kesatiran Baweratalun.

     Arya Dandunwacana bertubuh tinggi besar, gagah perkasa. Berwatak pemberani, jujur, setia dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Ia bersama adik-adiknya menjadi senapati perang negara Mertani, sebuah kerajaan siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan sebuah hutan belantara yang angker.

     Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa, putra Prabu Pandu raja negara Astina, berkat daya kesaktian Minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian dari Bagawan Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani, Arya Dandunwacana yang kalah dalam peperangan melawan Bima/Werkudara akhirnya menjelma/sejiwa dengan diri Bima. Kepada Bima, Arya Dandunwacana menyerahkan; hak memakai nama Arya Dandunwacana, negara Jodipati, gada pusaka bernama Rujakpala dan seluruh balatentaranya antara lain Patih Gagakbaka dan para putra Slagahima antara lain ; Podangbinurehan, Dandangminangsi, Jangettinelon, Celengdemalung, Menjanganketawang dan Cecakandon.

Danurwenda
     ARYA DANURWENDA adalah putra Arya Anantareja, raja negara Jangkarbumi dengan permaisuri Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa dari negara Tasikraja. Ketika berlangsungnya perang Bharatayuda, Arya Danurwenda masih kecil. Ia tetap tinggal di kahyangan Saptapratala bersama kakeknya, Hyang Anantaboga. Danurwenda memiliki sifat dan perwatakan; jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaannya kepada Sang Maha Pencipta. Ia berkulit Napakawaca, sehingga kebal terhadap segala macam senjata. Danurwenda juga mewarisi cincin Mustikabumi dari ayahnya, Anantareja, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, da n dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir.

     Arya Danurwenda menikah dengan Dewi Kadriti, cucu Prabu Kurandageni dari negara Tirtakandasan. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Nagapratala. Danurwenda tidak bersedia menjadi raja negara Jangkarbumi, tetapi ia memilih menjadi patih negara Astina di bawah pemerintahan Prabu Parikesit. Negara Jangkarbumi diserahkan kepada putranya, Nagapratala.

Darmahambara
     PRABU DARMAHAMBARA adalah raja negara Giyantipura. Permaisurinya bernama Dewi Swargandini, dan mempunyai tiga orang putri masing-masing bernama; Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika/Ambiki.
Prabu Darmahambara pernah menyelenggarakan sayembara tanding pilih menantu untuk dua orang putrinya, Dewi Ambika dan Dewi Ambiki. Putri sulungnya, Dewi Amba tidak ikut dipertaruhkan karena sebelunya telah bertunangan dengan Prabu Citramuka, raja negara Srawantipura.

     Sayembara tanding dimenangkan oleh Dewabrata/Bisma dari negara Astina setelah mengalahkan dua raksasa kembar,
Wahmuka dan Arimuka yang menjadin jago negara Giyantipura.
Ketiga putri Prabu Darmahambara mengalami nasib yang berbeda. Dewi Amba secara tidak sengaja tewas oleh Dewabrata. Dewi Ambika menikah dengan Prabu Citragada dan Dewi Ambiki dengan Prabu Wicitrawirya, keduanya putra Prabu Santanu dengan Dewi Durgandini dari negara Astina.

     Setelah Prabu Citragada dan Prabu Wicitrawirya meninggal, Dewi Ambika menikah dengan Arya Drestarasta dan Dewi Ambiki dengan Pandu, keduanya putra Dewi Durgandini dengan Bagawan Abiyasa, dari pertapaan Retawu. Dewi Ambika menurunkan keluarga Kurawa sedangkan Dewi Ambiki menurunkan keluarga Pandawa

Dewayani
      DEWI DEWAYANI adalah nenek-moyang keluarga wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka. Ia merupakan putri tunggal Resi Sukra dengan Dewi Jayanti, putri Sanghyang Indra. Resi Sukra adalah brahmana mahasakti yang menjadi guru para daitya/raksasa di negara Sakiya. Karena menghendaki kemenangan para daitya, Resi Sukra bertapa memuja Bathara Prameswara selama l.000 tahun dan mendapat ilmu Sanjiwani, mantra sakti yang dapat menghidupkan orang mati. Karena berselisih dengan Dewi Sarmista, putri tunggal Prabu Wrisaparwa, raja daitya negara Parwata, Dewayani meminta Resi Sukra, ayahnya agar menghukum Prabu Wrisaparma dan Dewi Sarmista yang telah menghina dan mendorongnya ke dalam lumpur.

     Karena takut terhadap kutuk pastu Resi Sukra, Prabu Wrisaparwa dan Dewi Sarmista memohon ampun dan bersedia memenuhi serta melaksanakan apa yang diminta/dikehendaki Dewayani. Dewayani meminta agar Sarmista menjadi budaknya, dan dipenuhi dengan senang hati oleh Sarmista.
Dewayani kemudian menikah dengan Prabu Yayati, raja negara Astina. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki, masing-masing bernama ; Yadu dan Turwasu.

     Kedua putranya tersebut kelak menurunkan golongan wangsa Yadawa, Wresni dan Andaka (keluarga Mandura, Lesanpura, Kumbina dan Dwarawti). Dewayani akhirnya dimadu dengan Dewi Sarmista yang diambil istri Prabu Yayati, dan berputra tiga orang lelaki, masing-masing bernama ; Druhyu, Anu dan Puru (menurunkan wangsa Kuru/Pandawa-Kurawa).

Drestadyumna
     ARYA DRESTADYUMNA atau Trustajumena adalah putra bungsu Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai kakak kandung dua orang masing-masing bernama; Dewi Drupadi, istri Prabu Yudhistira, raja Amarta, dan Dewi Srikandi, istri Arjuna.

     Konon Arya Drestadyumna lahir dari tungku pedupaan hasil pemujaan Prabu Drupada kepada Dewata yang menginginkan seorang putra lelaki yang dapat membinasakan Resi Drona yang telah mengalahkan dan menghinanya. Drestadyumna berwajah tampan, memiliki sifat pemberani, cerdik, tangkas dan trenginas. Ia menikah dengan Dewi Suwarni, putri Prabu Hiranyawarma, raja negara Dasarna. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra lelaki bernama; Drestaka dan Drestara.

     Drestadyumna ikut terjun dalam kancah perang Bharatayuda. Ia tampil sebagai senapati perang Pandawa, menghadapi senapati perang Kurawa, yaitu Resi Drona. Pada saat itu roh Ekalaya, raja negara Parangggelung yang ingin menuntut balas pada Resi Drona menyusup dalam diri Drestadyumna. Setelah melalui pertempuran sengit, akhirnya Resi Drona dapat dibinasakan oleh Drestadyumna dengan dipenggal lehernya.

     Drestadyumna mati setelah berakhirnya perang Bharatayuda. Ia tewas dibunuh Aswatama, putra Resi Drona, yang berhasil menyusup masuk istana Astina dalam usahanya membunuh bayi Parikesit.

     Drona RESI DRONA atau Durna yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama ; Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani.
Resi Drona berwatak; tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).

     Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.

     Dalam peran Bharatayuda Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Resi Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumna, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumna.

Drupada
     PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/Resi Drona dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya.

    Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata. Ia menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama; Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna.

    Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Drona, dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Drona dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Di dalam perang besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Drona terkena panah Cundamanik.

Drupadi
     DEWI DRUPADI atau Dewi Kresna dan dikenal pula dengan nama Pancali (Mahabharata) adalah putri sulung Prabu Drupada, raja negara Pancala dengan permaisuri Dewi Gandawati, Putri Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandini. Ia mempunyai dua orang adik kandung bernama ; Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna.
Dewi Drupadi berwajah sangat cantik, luhur budinya, bijaksana,sabar, teliti dan setia. Ia selalu berbakti terhadap suaminya. Menurut pedalangan Jawa, Dewi Drupadi menikah dengan Prabu Yudhistira/Puntadewa, raja negara Amarta dan berputra Pancawala.

      Sedangkan menurut Mahabharata, Dewi Drupadi menikah dengan lima orang satria Pandawa, Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh lima orang putra, yaitu; 1.Partawindya dari Yudhistira. 2. Srutasoma dari Bima. 3. Srutakirti dari Arjuna 4. Srutanika dari Nakula 5. Srutawarman dari Sahadewa. Akhir riwayatnya diceritakan, Dewi Drupadi mati moksa bersama-sama dengan kelima satria Pandawa setelah berakhirnya perang Bharatayuda.

Dursala
     DURSALA adalah putra Arya Dursasana, Adipati Banjarjumut yang merupakan salah satu dari seratus orang keluarga Kurawa dengan Dewi Saltani. Ia berbadan besar, gagah dan bermulut lemar.

      Dursala mempunyai watak dan sifat; takabur, besar kepala dan senang meremehkan orang lain, ia sangat sakti. Selain pernah berguru pada Resi Drona, Dursala juga menjadi murid kesayangan Bagawan Pisaca, seorang pendeta raksasa dari pertapaan Carangwulung di hutan Wanayasa. Ia diberi Aji Gineng oleh Bagawan Pisaca yang berkhasiat kesaktian siapa saja yang digertaknya badannya akan hancur lebur.

     Dursala menikah dengan Dewi Sumini. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra yang diberi nama Arya Susena. Dursala tewas dalam pertempuran melawan Gatotkaca tatkala ia bermaksud menguasai negara Amarta. Badannya hancur terkena hantaman Aji Narantaka.

Dursasana
     DURSASANA adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia bersaudara 100 orang --{99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa. Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.

       Dursasana menikah dengan Dewi Saltani, putri Adipati Banjarjungut. Dari perkawinan ini ia berputra seorang lelaki bernama Dursala. Dursasana berbadan besar, gagah dan bermulut lebar, mempunyai watak dan sifat; takabur,gemar bertindak sewenang-wenang, besar kepala, senang meremehkan dan menghina orang lain. Ia mempunyai pusaka sebuah keris yang luar biasa besarnya bernama Kyai Barla.

     Dursasana mati di medan perang Bharatayuda oleh Bima/Werkudara dalam keadaan sangat menyedihkan. Dadanya dibelah dengan kuku Pancanaka. Darah yang menyembur ditampung Bima untuk memenuhi sumpah Dewi Drupadi, yang akan dibuat kramas dan mencuci rambutnya. Anggota tubuh dan kepala Dursasana hancur berkeping-keping, dihantam gada Rujakpala.


Dursilawati
     DEWI DURSILAWATI adalah satu-satunya wanita dari 100 (seratus) orang putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Diantara 100 orang, keluarga Kurawa yang dikenal dalam pedalangan adalah; Duryudana (raja Negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Dursasana (Adipati Banjar Jumut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, dan Widandini (raja negara Purantara) .

Tidak ada komentar: